Translate

Kamis, 28 Februari 2013

JOOP WAROUW



JOOP WAROUW. Nama sarani (Kristen Protestan) Jacob Frederick Warouw alias Joop. Lahir di Batavia, 8 September 1917. Memulai perjuangannya membelah tanah air melalui karir militer, tahun 1942-1945 : Wakil Pimpinan Bagian Pasukan PERISAI (Pemuda Republik Indonesia Sulawesi) merangkap Kepala Pasukan (setingkat regu). Pada bulan oktober 1945 bertugas sebagai Kepala Barisan PRI Sulawesi (PERISAI)/KRIS Surabaya .  Salah satu Komandan Regu Barisan Istimewa PERISAI bersama-sama dengan  D.Somba, Oetoek Laloe,H.V.Worang (Kembi).

Catatan. Konon pada waktu pasukan sekutu Inggris yang dikomandani oleh Jenderal Mellaby mendarat di pantai Soerabaya, tepatnya tanggal 10 November 1945, seseorang yang ada di jembatan merah mengarahkan senjata laras panjangnya dan menembak ke arah Jenderal Melllaby yang berdiri di atas panzer. Akibat penembakan ini merupakan pemicu terjadinya perlawanan arek-arek Soeroboyo terhadap pasukan sekutu. Siapakah seseorang tersebut, tak lain adalah Joop Warouw (Sumber: EW)

Tahun 1946, berdasarkan track-record sebagai prajurit pejuang yang telah memperlihatkan kinerjanya sebagai perwira militer yang handal dalam mempertahankan kemerdekaan, karir militernya naik menjadi Wakil Komandan/Kepala Staf Divisi VI Tentara Laut RI (TLRI)merangkap Ka. Personalia di Lawang- Jawa Tengah (pangkat Letkol). Dan pada tahun 1946-1948 Wakil Komandan/Kepala Staf ALRI Pangkalan X di Situbondo Jatim merangkap Ka.Sie. Operasi (ex Divisi VI ALRI). Kemudian, para tahun 1958-1950  diangkat menjadi Komandan Brigade XVI di Yogyakarta. Dan akhirnya pada tahun 1950-1952 diberi tugas untuk menangani masalah pertahanan dan keamanan di daerah asal, menduduki jabatan militer sebagai Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) B - Sulawesi Utara & Maluku Utara (Resimen Infanteri 24 (RI-24) di Manado; selanjutnya sebagai Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) D - Maluku Selatan (Resimen Infanteri 25 (RI-25) di Ambon dan Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) A - Sulawesi Selatan (Resimen Infanteri 23 (RI-23) di Makassar.

Tahun 1952-1953 merupakan eras krisis politik kemiliteran, di mana peristiwa 17 Oktober 1952 mendaulat  Kol. Gatot Subroto sebagai Panglima TT-VII/TTIT, sementara Joop Warouw sendiri dipercayakan menjabat Kepala Staf TT-VII/Indonesia Timur (Maret '52, dan pejabat sementara Panglima TT-VII (5 Jan '53).

Puncak karir militernya sebagai perwira tinggi ditubuh AD, yaitu pada tahun 1954-1956 didaulat oleh negara sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana dengan pangkat Kolonel (TMT 1 Agt'54), dan kemudian pada tahun 1956-1958  diberi kepercayaan untuk menjadi Atase Militer pada Kedubes RI di Peking (Beijing) Cina (TMT bulan Agustus 1956).

Selasa, 26 Februari 2013

Babe Palar 


Babe Palar


 LAMBERTUS ‘BABE’ PALAR NICODEMUS (Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas). Lambertus Palar Nikodemus/LPN (Rurukan, 5 Juni 1900 - Jakarta, 12 Februari 1981) mewakili Republik Indonesia dalam berbagai posisi diplomatik yang paling terkenal sebagai Wakil Indonesia pertama untuk PBB. Dia juga memegang ambassadorships di India, Jerman Timur, Uni Soviet, Kanada, dan Amerika Serikat. Ia adalah putra dari Gerrit Palar dan Lumanauw Jacoba.

LPN memulai pendidikan sekolah menengah (Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Tondano. Dia pindah ke Jawa untuk menghadiri sekolah tinggi (Belanda: Algeme (e) ne Middelbare School (AMS) di Yogyakarta di mana ia tinggal dengan Sam Ratulangi. Pada tahun 1922, Palar memulai studinya di Politeknik (Belanda: Technische Hoogeschool) di Bandung, yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (bahasa Indonesia: Institut Teknologi Bandung (ITB)). Di sekolah ini, Palar berkenalan dengan nasionalis Indonesia seperti Sukarno. Sebuah penyakit parah dipaksa Palar putus sekolah dan kembali ke Minahasa. Palar akhirnya ulang studinya di sekolah hukum (Belanda: Rechts Hoogeschool) di Batavia (sekarang Jakarta) di mana ia bergabung dengan organisasi pemuda bernama Muda Minahasa (bahasa Indonesia: Jong Minahasa). Pada tahun 1928, Palar pindah ke Belanda untuk belajar di University of Amsterdam (Belanda: Universiteit van Amsterdam).

Karir Politik di Belanda
Pada tahun 1930, Palar menjadi anggota Buruh Sosial Demokrat Partai (Belanda: Sociaal- Democratische Arbeiders Partij (SDAP)) segera setelah SDAP mengadakan Kongres Kolonial dan memilih pada proposisi yang meliputi tanpa syarat mengakui hak kemerdekaan nasional untuk Hindia Belanda. Palar kemudian memegang posisi sekretaris Komisi Kolonial dari SDAP dan Belanda 'Federasi Serikat Buruh (Belanda: Nederlands Verbond van Vakverenigingen (NVV) mulai pada bulan Oktober 1933. Ia juga direktur Persbureau Indonesia (Persindo), yang diberi tugas untuk mengirimkan artikel yang berhubungan dengan demokrasi sosial Belanda ke Hindia Belanda. Pada tahun 1938, Palar kembali ke tanah airnya dengan istrinya, Johanna Petronella Volmers, yang ia menikah pada tahun 1935. Ia melakukan perjalanan di seluruh nusantara dan mengumpulkan informasi mengenai perkembangan terkini. Ia menemukan bahwa gerakan nasionalis Indonesia sangat banyak hidup dan kembali ke Belanda menulis tentang pengalamannya.

Selama pendudukan Jerman Belanda, Palar tidak bisa bekerja untuk SDAP dan bukan bekerja di Van der Waals Laboratorium. Dia juga mengajar kelas untuk bahasa Melayu dan menjadi gitaris di sebuah ensemble Kroncong. Selama perang, Palar dan istrinya bergabung dengan gerakan bawah tanah anti-Nazi.  Setelah perang, Palar terpilih ke dalam Majelis Rendah (Belanda: Tweede Kamer) yang mewakili Partai Buruh yang baru dibentuk (Belanda: Partij van de Arbeid (PvdA)), yang berasal dari SDAP. Setelah Deklarasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Palar yang simpatik terhadap proklamasi dipromosikan kontak dengan kaum nasionalis Indonesia. Ini tidak diterima dengan baik oleh PvdA yang dihasilkan dalam partai menjauhkan diri dari posisi asli tanpa syarat mengakui hak kemerdekaan nasional untuk Indonesia, yang ditentang oleh Palar. Menjadi yang diberikan oleh pihak di atas sebuah misi pencarian fakta ke Indonesia, Palar kembali bertemu dengan para pemimpin Revolusi Nasional Indonesia, termasuk Presiden Sukarno. Palar terus mendesak resolusi non-kekerasan dari sengketa antara Belanda dan Republik Indonesia yang baru. Namun, pada tanggal 20 Juli 1947, parlemen memutuskan untuk memulai Polisi Aksi (Belanda: Politionele Acties) di Indonesia. Palar mengundurkan diri dari parlemen dan Partai Buruh pada hari berikutnya.

Mewakili Indonesia
Wakil Presiden Hatta dan Ratu Belanda Juliana pada upacara penandatanganan di Den Haag di mana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Palar bergabung dengan upaya untuk pengakuan internasional kemerdekaan Indonesia dengan menjadi Perwakilan Indonesia untuk PBB pada tahun 1947. Ia tetap dalam posisi ini sampai 1953. Periode waktu ini mencakup peristiwa penting seperti konflik Belanda-Indonesia terus, penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan masuknya Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Selama konflik Belanda-Indonesia, Palar berpendapat kasus kemerdekaan Indonesia di PBB dan Dewan Keamanan, meskipun statusnya hanya sebagai "pengamat" karena Indonesia bukan anggota PBB pada saat itu. Setelah Polisi kedua Aksi itu tidak populer dan kemudian dikutuk oleh Dewan Keamanan, Perjanjian Roem-van Roijen telah ditandatangani, yang menyebabkan Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.

Indonesia diakui sebagai Negara Anggota ke 60 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 28 September 1950. Menjadi  sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk PBB, Palar berterima kasih atas dukungan PBB dan berjanji bahwa Indonesia akan menjalankan peran sebagai negara anggota PBB secara bertasnggungjawab. Palar melanjutkan karyanya di PBB sampai yang menugaskan Duta Besar Indonesia untuk India. Pada tahun 1955, Palar diminta kembali ke Indonesia dan berperan dalam perencanaan Konferensi Asia-Afrika, yang dikumpulkan negara-negara Asia dan Afrika, sebagian besar yang baru merdeka. Setelah konferensi, Palar kembali responsibities duta besar itu dengan mewakili Indonesia di Jerman Timur dan Uni Soviet. Dari tahun 1957 sampai tahun 1962, ia menjadi Duta Besar untuk Kanada dan setelah itu kembali ke PBB sebagai Duta Besar sampai 1965. Sukarno menarik keanggotaan Indonesia di PBB karena konflik Indonesia-Malaysia dan pada pemilihan Malaysia ke dalam Dewan Keamanan. Palar kemudian menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan baru Soeharto pada tahun 1966, Indonesia meminta pembukaan kembali keanggotaan PBB dengan pesan kepada Sekretaris Jenderal yang disampaikan oleh Palar.

Palar pensiun dari dinas luar negeri pada tahun 1968 memiliki melayani negara selama awal perjuangan dan konflik dan berjuang untuk kebebasan dalam arena diplomatik. Palar kembali ke Jakarta, tetapi tetap aktif melalui lectureships, kerja sosial, dan sebagai penasihat Perwakilan Indonesia untuk PBB. Lambertus Palar Nikodemus meninggal di Jakarta pada 12 Februari 1980. Dia meninggalkan istrinya, Johanna Petronella "Yoke" Volmers, dan anak-anak Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo, dan Bintoar Palar.

DAAN MOGOT

 DAAN MOGOT

DAAN MOGOT. Lahir di Manado, 28 Desember 1928 – meninggal di Lengkong, Tangerang, 25 Januari 1946 pada umur 17 tahun adalah seorang pejuang dan pelatih anggota PETA di Bali dan Jakarta pada tahun 1942. Setelah Perang Dunia ke-2 selesai, ia menjadi Komandan TKR di Jakarta dengan pangkat Mayor. Bulan November 1945 menjadi pendiri sekaligus Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) dalam usia 17 tahun. Ia gugur di Hutan Lengkong bersama 36 orang lainnya dalam peristiwa tindakan bengis tentara Jepang saat hendak dilucuti senjata mereka di Hutan Lengkong di Tangerang.

Pada masa Pendudukan Jepang, Daan dilatih untuk menjadi Pasukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) angkatan pertama. Ada 50 orang yang diambil dari peserta latihan angkatan pertama itu untuk mengikuti pendidikan “guerilla warfare” di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Di antara mereka yang ikut latihan khusus itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Syatibi dan Effendi. Karena prestasinya, kemudian ia diangkat menjadi pelatih anggota PETA di Bali, kemudian dipindahkan di Jakarta. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat sejati yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis.

Pada tahun 1945 ketika Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Ini suatu keunikan pada masa itu, Mayor Daan Mogot baru berusia 16 tahun! Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Keresidenan Jakarta, empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya.

Sejumlah perwira yang bergerak di situ adalah Singgih, Daan Yahya, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin, Darsono dan lain-lain. Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia , ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda. Daan bercita-cita tentang sebuah perguruan untuk mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara, yang kemudian ternyata terlaksana, ialah didirikannya “militer akademi” (akademi militer) pada tanggal 18 November 1945 di Tangerang. Kemudian ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Sebenarnya Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.

Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Sejumlah perwira dan bintara TKR yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di staf sedangkan Kemal Idris di pasukan.

Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang. Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha.

Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta. Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa.

Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar. Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata.
Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan. Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.

Dalam waktu yang amat singkat terjadilah penembakan membabi buta yang menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Dalam peritiwa ini, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.

Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.

(Catatan keluarga: Daan Mogot lahir dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien) dengan nama Elias Daniel Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut). Pada tahun 1939, yaitu ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (Jakarta sekarang) dan menempati rumah di jalan yang sekarang bernama Jalan Cut Meutiah – Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang). 

ALEX E KAWILARANG

Catatan ini coba menyibak kisah perjuangan beberapa anak negeri yang pernah berbuat untuk bangsa dan negaranya, ketika mereka berkiprah mempertahankan eksistensi kemerdekaan RI dari tangan kolonial Belanda. Namun, dengan tidak berlebihan para tokoh yang akan diaktualisasikan melalui catatan ini adalah para patriot dari utara  yang dahulu dikenal tanah malesung (Toar-Lumimuut) Minahasa.

ALEX E KAWILARANG



ALEX E KAWILARANG (AEK). Almarhum AEK  memulai karirnya pada 1945 sebagai perwira penghubung dengan Pasukan Inggris di Jakarta . Ia pernah menjadi  Komandan Resimen Infanteri Bogor, kemudian pada 1946 menjadi  Komandan Brigade II Sukabumi. Pada 1948, Kawilarang menjabat sebagai Komandan Brigade I/Siliwangi di Yogyakarta. Pada 1949 ia menjadi Komandan Teritorium Sumatera Utara, lalu menjabat Panglima Tentara dan Teritorium I hingga  1950. Pada 1951, ia menjabat Panglima TT VII/Indonesia Timur dan pada November  tahun yang sama menjadi Panglima TT III/Siliwangi.

AEK pernah disorot pers ibukota pada tahun limapuluhan. Ketika itu secara mengejutkan Alex menangkap Menlu Roeslan Abdulgani di lapangan terbang Kemayoran dengan tuduhan korupsi. Roeslan ketika itu bersiap-siap untuk berangkat ke luar negeri. Belakangan Presiden Soekarno meminta Panglima Siliwangi ini membebaskan kembali Menlunya itu. Langkah Alex yang lain yang sulit dilupakan masyarakat politik pada era 50-an ialah ketika ia menempeleng Soeharto di Makassar. AEK  marah karena selaku Panglima Wirabuana ia baru melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman.

Tetapi Soekarno menyodorkan radiogram yang baru diterimanya bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar. Ternyata pasukan yang harus mempertahankan kota Makassar yaitu Brigade Mataram telah melarikan diri ke lapangan udara  Mandai.  Maka tidaklah mengherankan bahwa Alex menjadi marah dan buru-buru kembali ke Makassar. Setibanya di lapangan udara ia langsung memarahi komandan Brigade Mataram Letkol Soeharto: "sirkus apa-apaan nih?" kata Kawilarang sambil menempeleng Soeharto.

Maka dapatlah dimengerti, akibat peristiwa tersebut, hingga saat Kawilarang meninggal, Soeharto  tidak pernah berbicara dengan bekas atasannya itu. Penghargaan kepada A.E. Kawilarang secara resmi baru diberikan pada  1999 yang lalu, sewaktu Habibie berkuasa. Ia salah seorang perwira Angkatan  45 yang tergolong bersih dan tidak pernah mendukung rejim Soeharto. Menurut seorang tokoh pemuda 45 Des Alwi, AEK  adalah seorang tentara asli yang jujur dan tidak main politik.

Kolonel (Purn.) Alex E Kawilarang, meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Selama Soeharto berkuasa berkali-kali Alex mendesak Pepabri untuk mengeritik Soeharto tetapi Pepabri yang sudah dikuasai para kaki tangan  Soeharto tetap saja mendukung kebijakan "bapak pembangunan" ini. Sesepuh Kopassus ini meninggal dalam usia 80 tahun akibat komplikasi beberapa penyakit.  Hingga Rabu  malam, suasana di rumah duka, Jalan Situbondo No.8, Menteng, Jakarta Pusat, masih dipenuhi para pelayat. Beberapa pejabat yang tampak hadir di rumah duka antara lain: Danjen Kopassus Mayjen Syahrir MS; Mantan Gubernur DKI Ali Sadikin dan Menhub Agum Gumelar. Dari kalangan politisi   nampak Ketua DPA Achmad Tirtosudiro, Arnold Baramuli, Sabam Sirait dan Des Alwi.

Yang menarik ialah kehadiran para mantan perwira pasukan Permesta yang sejak tengah malam  berada di rumah duka. Sabam Sirait tokoh PDI Perjuangan menceriterakan kenangan menariknya bersama Almarhum. Sabam menuturkan bahwa waktu hari ulang tahun Kopassus, ketika Prabowo Subianto menjabat Danjen Kopassus saat itu lupa mengucapkan terima kasih kepada Alex. Padahal Prabowo sudah sempat memuji-muji perwira-perwira senior lainnya. Sabam yang mengingatkan Prabowo bahwa Kawilaranglah yang mendirikan KKAD atau RPKAD. Lalu Prabowo kembali naik mimbar dan mengucapkan terima kasih yang ditujukan kepada Alex. Tetapi, lanjut Sabam, Alex mengatakan padanya bahwa "saya tidak perlu ucapan terima kasih dari perwira-perwira rejim ini."

Desember lalu  dalam suatu percakapan dengan Radio Nederland Kawilarang yang secara  akrab biasanya disapa dengan Bung Lex, mengatakan: "Ketika Wiranto masih menjabat Panglima TNI saya pernah mengatakan, melihat sepak terjang TNI selama Orde Baru saya kira sebaiknya TNI dibubarkan saja. Tetapi Wiranto tidak bereaksi," kata Kawilarang. Perwira profesional ini beranggapan, yang paling tepat memimpin TNI saat ini adalah Agus Wijoyo. Ia selain professional juga tidak berpihak pada kelompok kelompok politik saat ini.

AEK  sendiri pada  1958 pernah diangkat sebagai Panglima Besar  Angkatan Perang Permesta ketika daerah-daerah bergolak memperjuangkan otonomi yang luas. Pada 1961, 30.000 tentara Permesta di Sulawesi Utara keluar dari hutan-hutan setelah Kawilarang  melakukan perundingan dengan Abdul Haris Nasution yang ketika itu menjabat sebagai KSAD. Mereka sepakat untuk bersama-sama menghadapi kekuatan  komunis di ulau Jawa. Tetapi belakangan Kawilarang kecewa pada Nasution yang tidak menepati janjinya. Sejumlah perwira Permesta ditahan dan yang lainnya diturunkan pangkat. Ribuan pasukan Permesta setiba mereka di pulau Jawa dilucuti dan dimasukkan ke kamp-kamp  konsentrasi. Sebagian lagi dikirim ke perbatasan Kalimantan Utara dan  berperang melawan tentara Inggris Ghurka.